Mengungkap skandal mafia rehabilitasi narkotika
Laporan : Retno Handayani
Bogorpolitan – Jakarta
Dilansir dari diskursusnetwork.com – Podcast Bang Ex Napi yang tayang di kanal YouTube Diskursus Net

pada Senin (10/02/2025) mengungkap skandal mafia rehabilitasi narkotika yang melibatkan oknum aparat.
Paralegal dari Forum Akar Rumput Indonesia (FARI), Bambang Yuslistyo, membongkar praktik kotor pembagian keuntungan antara oknum polisi dan yayasan rehabilitasi dengan skema 70%-30%.
Podcast yang dipandu oleh jurnalis senior Insan Sadono ini juga menghadirkan penyintas sekaligus pengurus Sekretariat Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Yusuf Jimmy, serta Psikolog Forensik Reza Indragiri. Dalam diskusi tersebut, mereka mengungkap berbagai modus pemerasan yang menjerat pengguna narkoba dan bobroknya sistem rehabilitasi di Indonesia.
Polisi Cuci Tangan Lewat Rehabilitasi
Bambang Yuslistyo mengungkap bahwa praktik pemindahan pengguna narkoba ke panti rehabilitasi sering kali bukan untuk alasan pemulihan, melainkan bagian dari skema bisnis gelap. Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa oknum aparat sengaja “mencuci tangan” dengan mendorong
pemindahan tersangka ke yayasan
rehabilitasi yang mereka kendalikan.
“Begitu seseorang tertangkap dengan barang bukti kecil, langsung diarahkan ke rehabilitasi. Orang tua yang panik akan langsung menandatangani berkas tanpa sadar bahwa di dalamnya ada angka biaya yang harus dibayar. Begitu mereka masuk, uang sudah mengalir,” kata Bambang atau akrab disapa Tejo.
Ia menambahkan bahwa dalam praktik ini, ada pembagian keuntungan yang sudah terstruktur.
“Dari informasi yang kami dapatkan, ada pembagian 70% untuk penyidik dan 30% untuk yayasan rehabilitasi,” bebernya.
Modus Pemerasan: Dari Penyidik hingga Yayasan
Sementara itu, Yusuf Jimmy yang pernah mengalami sendiri penyiksaan oleh aparat dalam kasus narkoba, menambahkan bahwa mafia rehabilitasi memiliki berbagai modus pemerasan.
“Ada tiga cara yang biasa digunakan. Pertama, petugas kepolisian meminta uang langsung kepada tersangka atau keluarganya. Kedua, polisi menggiring mereka untuk menggunakan pengacara tertentu yang juga bagian dari jaringan ini. Ketiga, rehabilitasi dijadikan alat pemerasan dengan dalih perawatan,” ungkapnya.
Jimmy juga mengungkap bahwa dalam banyak kasus, fasilitas rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah sebenarnya ada dan gratis, tetapi selalu disebut penuh atau waiting list, sehingga pasien “dipaksa” memilih yayasan swasta dengan biaya tinggi.
Mafia Rehabilitasi Narkotika, Bisnis Berkedok Pemulihan
Dalam diskusi, Psikolog Forensik Reza Indragiri menyoroti bahwa pendekatan rehabilitasi yang ideal seharusnya berbasis kebutuhan individu. Namun, di Indonesia, rehabilitasi justru lebih banyak digunakan sebagai celah bisnis ketimbang solusi kesehatan.
“Rehabilitasi itu harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien, bukan hanya sekadar dimasukkan ke tempat tertentu demi kepentingan ekonomi pihak tertentu,” tegas Reza.
Bambang juga menambahkan bahwa banyak yayasan rehabilitasi yang sebenarnya tidak memiliki standar terapi yang jelas. Bahkan, ada konselor yang tidak paham metode rehabilitasi yang efektif.
“Ada panti yang ganti nama dan pindah tempat setelah dipermasalahkan, lalu kembali beroperasi dengan modus yang sama,” katanya.
Para narasumber sepakat bahwa perlu ada reformasi dalam sistem rehabilitasi narkotika di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap yayasan rehabilitasi, penerapan asesmen yang lebih transparan, serta penindakan tegas terhadap oknum aparat yang terlibat dalam praktik kotor mafia rehabilitasi narkotika ini.
Podcast ini mengungkap bahwa di balik dalih pemulihan, ada skema bisnis yang menguntungkan segelintir pihak dengan mengorbankan para pengguna narkoba yang seharusnya mendapatkan bantuan yang tepat.
Rehabilitasi seharusnya menjadi jalan menuju pemulihan, bukan ladang bisnis ilegal yang memperkaya mafia hukum dan kesehatan di Indonesia.(DN)